Titik Koma

cerpen pendek
Lukisan "Starry Night" Karya Vincent Van Gogh

Ini adalah cerita pendek yang kami buat saat berada di kelas XI Madrasah Aliyah. Bersama dengan teman sekelompok untuk memenuhi tugas pelajaran Bahasa Indonesia.

“Aaaaaaaa……..!”

Terdengar suara jeritan parau memecah keheningan sudut sekolah sore itu. Awan hitam sisa hujan masih mengambang di kaki langit, air masih membasahi dedaunan yang pucat. Sesekali kilat masih menyambar. Jam pelajaran telah usai 3 jam yang lalu. Sunyi . Sepi. Hanya teriakan parau itu, terdengar dari gudang belakang di dekat lapangan basket  yang menambah cekam suasana.

“Ra….. kenapa begini…”

            Gadis bernama Maya itu duduk di depan temannya yang sudah menjadi mayat itu. Bulir bening mengalir dari sudut mata gadis tomboi itu, memandangi Rahma --teman dekatnya-- yang telah terduduk kaku di depan laptop yang masih menyala berkedip, darah segar mengalir dari hidung yang telah tak bernafas entah beberapa waktu yang lalu sebelum ia tinggalkan, Maya ke kamar mandi, sedangkan kedua temannnya yang lain, Gamma dan Satya membeli makanan di dekat gerbang sekolah.

Dari arah pintu itu, terdengar suara bariton yang tak asing lagi,

“May, ini pesananmu!”

Gamma menyodorkan sekantung penuh makanan. Ekspresinya seketika berubah pasi melihat Maya tertunduk, terisak. Maya mendongakkan kepalanya pelan.

“Ra…Ra…Rahma….”

Belum sempat menjelaskan tentang kematian sahabatnya itu, Maya telah terisak, wajahnya kembali tertunduk.

“Kenapa, May? Kamu sakit?”

Gamma perlahan mendekat, namun Maya terisak semakin dalam, air matanya semakin deras mengalir. Kemudian  Gamma mendekati tubuh Rahma yang tak lagi bergerak. Mencoba membangunkan Rahma yang ia kira tertidur pulas. Sesaat kemudian ia tersentak, Gamma merasa tak percaya dengan apa yang terjadi. Pandangannya seketika kosong.

“Ini tidak benar kan, May?”

Namun Maya tetap dalam isaknya yang dalam. Sambil memeluk Rahma, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

“May, jawab, May, ini semua……”

Gamma menjatuhkan bungkusan plastik berisi makanan, air matanya pun tumpah, ia memukul-mukul tembok sambil menyalahkan dirinya sendiri.

Tanpa mereka ketahui, Satya telah berdiri di samping pintu yang bertuliskan gudang sekolah itu, dan mendengar semuanya, ia hanya menatap kosong, mulutnya terdiam, di balik kaca matanya yang berkabut karena dingin, bulir bening itu menetes, ia menangis lirih dalam hati. Suasana hening, sehening-heningnya. Angin berhembus dingin melalui jendela kecil di balik tumpukan kursi dan meja itu.

Gamma berbalik, dan mencoba membaringkan tubuh Rahma, sementara Satya mencoba menelpon polisi. Gamma terkesiap melihat layar laptop Rahma.

“Apakah ini penyebabnya?” gumamnya lirih.

“Maksudmu apa, Gam?”

“Ya aku yakin, ini pasti karena ini!”

***

Lampu taman menyala temaram di sudut  kolam , membias titik- titik air langit yang mulai turun, gerimis itu mulai membasahi rerumputan yang hijau, menyanyikan lagu Tik Tik Bunyi Hujan di malam yang sepi. Malam itu hanya mereka bertiga duduk pada dua bangku  kayu panjang  yang berhadapan, di atasnya dipasang atap dari kayu yang lebih tipis. Letaknya yang di halaman depan rumah Rahma, membuat mereka leluasa melihat lalu lalang kendaraan di jalan raya yang lengang, pagar besi rendah menyekat taman itu dengan jalan di depannya. Di sinilah tempat mereka menghabiskan waktu luang, membagi suka dan duka, silam sebelum Rahma pergi jauh, jauh sekali.

Sementara di dalam rumah yang mewah itu, duka yang lebih mendalam dirasakan kedua orang tua Rahma, terutama Ibunya, tak berhenti menangis sejak Rahma dikuburkan sore itu. Ia tak kuasa melihat anak semata wayangnya pergi dalam usia yang masih begitu muda.

Gamma duduk di samping Satya, sedangkan Maya duduk di depan mereka, sebelum Rahma tiada, ia duduk di samping Maya.

Udara dingin malam bersiut membawa aroma duka kehilangan, ketakutan, dan penasaran tentang apa yang telah terjadi.

Bayangan masa lalu sejenak mengisi ruang hati mereka........

“Rayang ini gimana caranya?  tanya Maya sambil menyodorkan buku bertuliskan matematika pada sampul luarnya.

Udah, gak usah diajarin,Ra! Paling juga nggak bisa!” celetuk Satya cuek.

“Eh, yang penting ada niat, Sat!” bela Maya.

“Niat? Kayak kamu punya niat aja!” Satya tak mau kalah.

“Sudah, dari pada berantem, mending makan bakso, kalian mau kupesankan, aku deh yang traktir!” sela Gamma sambil membawa semangkuk penuh bakso. Mereka biasa memesan bakso gerobak dari dalam taman rumah Rahma, melalui pagar besi yang setinggi dada itu, mereka memesan bakso yang biasa lewat depan rumah Rahma.

“Wah, ide bagus tuh!” kata Rahma sambil menunjuk Gamma.

“Ya udah deh, ditraktir kan?” Maya bangkit mendekati Gamma.

“Niat belajar apaan? Dibujuk pakek bakso aja udah luluh” ejek Satya.

“Biarin, sebelum otak diisi, perut gak boleh kosong, dong!” tangan kiri Maya memegang dahi, dan tangan kanannya memegang perut.

“Udah, udah, pada gak mau bakso, kuhabiskan semua, ya!” tangan Gamma masing masing membawa mangkuk pakso, sedang Rahma menyusul di belakangnya.

“Eh, jangan, perutku udah keroncongan nih!” Maya menyambar bakso di tangan kanan Gamma, kemudian duduk di bangku, kemudian Gamma menyodorkan mangkuk lain pada Satya dan ia pun duduk di samping Maya.

“Keroncongan? Jangan-jangan sebentar lagi dangdutan!” Celetuk  Rahma. Tawa pun meledak di antara mereka, suasana begitu hangat, meski langit terlihat mendung.

Semua kenangan itu begitu terasa manis, namun tiba-tiba siluet itu hilang. Kembali suasana cekam merayapi pertemuan mereka.

Kita semua merindukannya..” gumam  Maya  lirih dengan mata menerawang.

Aku yakin, ini semua pasti karena itu!”

“Sudahlah Gam, jangan membuat masalah lebih rumit lagi!” bentak Satya.

“Ini pasti kutukan!” potong Maya

Ya kita tidak pernah menghiraukan perkataan mereka, kita telah mengusik mereka” tegas Satya.

“Ini tidak akan terjadi jika sejak awal kita tidak menggunakan ruang gudang itu sebagai markas rahasia kita, ini semua kutukan....kutukan!” jelas Satya.

BRAKKKK!!

Tangan Gamma memukul meja

Non sense, loe semua gak bisa berpikir logis? Gua juga gak terima ini semua, tapi…” sambil menunjuk keningnya, Gamma loe-guenya kumat tanda dia benar-benar kesal.

“Tapi, kita lihat sendiri kan, Rahma yang menjadi korbannya!” Tampik Maya.

Ya, ini kutukan, apa lagi kalau bukan itu?” bela Satya

Titik Koma” lirih Gamma.

“Apa maksudmu?

“Iya, itu adalah pesan kematian, dan gue rasa gue tahu apa penyebabnya”

“Sudahlah jangan berkhayal, Gam!”

“Tapi semua kesimpulan mengarah ke hal ini, dan dan...”

“Dan apa?”

“Dan mungkin, selanjutnya adalah giliran gue!” lirih Gamma.

Hujan bertambah deras, petir semakin keras menyambar, menambah temaram lampu yang telah redup.

***

Bel pulang berbunyi, suara riuh memenuhi seluruh sisi SMA Erlangga. Ada yang langsung ke luar untuk bergegas pulang, ada yang masih mengobrol dengan temannya, ada yang ke kantin. Namun tidak seperti biasanya Gamma tergesa keluar kelas untuk menuju Laboratorium Komputer. Sementara Satya dan Maya masih sibuk dengan pekerjaan mereka di kelas.

“Permisi ,Bu!” Satya memasuki ruangan sambil membuka pintu. Wanita paruh baya yang duduk di depan komputer itu mendongak pelan, dengan intonasi datar mempersilakan Gamma masuk.

“Silakan masuk, ada keperluan apa?”

Gamma mendekat pada wanita yang dipanggilnya Bu Dewi itu.

“Saya ingin bertanya sesuatu, Bu” cetus Gamma memulai pembicaraan.

“Iya silakan...”

Bu, apa mungkin teknologi RSP (Radiation Short Pincblende) sudah dipakai di negara kita?”

“Maksudmu? Ibu tidak mengerti?” sambil menata beberapa berkas di mejanya.

Ibu yakin, Ibu tidak mengerti?”. Tanya Gamma meyakinkan. Lamunan panjang menyelubungi pikirannya.

Gamma bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mungkinkah Bu Dewi tidak mengetahui tentang semua ini, mungkinkah dirinya telah bertanya kepada orang yang salah, sedangkan awalnya dia yakin Bu Dewi adalah orang yang tepat, beliau sangat terkenal di sekolah bahkan di seluruh kota ini, beliau adalah satu-satunya lulusan Oxford University yang meraih gelah doktor di bidang teknologi, pasti beliau paham betul tentang pertanyaan yang dilontarkannya. Kemudian pertanyaan lebih jauh berkecamuk di pikirannya, kenapa orang seperti Bu Dewi hanya mau mengajar sebagai guru SMA. Entahlah pikirnya, itu bukan masalahnya. Kemudian pertanyaan Bu Dewi memecah lamunannya.

“Gam, apa ada sesuatu yang mendorongmu untuk menanyakan hal ini?”

“Iya Bu, sesuatu yang membuat saya terlalu rumit untuk memikirkannya sendiri”

“Kalau begitu kenapa kau begitu yakin aku adalah orang yang tepat untuk kau tanyai hal ini?”

“Em . . .” jawab Gamma ragu.

“Bukankan Ibu pernah menyinggung tentang hal ini pada pelajaran kemarin, selain itu bukankah studi terakhir Ibu tentang hal itu Bu!” lanjut Gamma.

Baiklah, jika saya mengerti, apa yang kau inginkan?” sahut Bu Dewi cepat.

Titik koma”

“Apa?” ada sedikit ekspresi terkejut pada wajah Bu Dewi.

“Titik koma adalah simbol untuk uranium (Pincblende) yang telah dikompresi hingga 1000 kali, yang biasa digunakan dalam pembangkit listrik tenaga nuklir dan sisanya digunakan dalam penyembuhan kanker. Saya melihat tanda ini saat kematian Rahma, lebih tepatnya pada laptop Rahma.”

“Maksudmu?  Aku semakin tidak mengerti,  jika memang ada yang membunuh Rahma, mengapa ia terlalu bodoh dengan meninggalkan tanda” tegasnya.

“Membunuh? Kenapa Ibu berkesimpulan demikian?”
“Bukan seperti itu maksudku, begini....” perkataan 
Bu Dewi terpotong.

“Begini Bu, maksud saya pernahkah Ibu mengetahui fungsi lain dari RSP?”

Fungsi lain?” sambil mengernyitkan dahinya.

Seperti senjata atau alat lainnya”

Senjata,,,,” sambil memijat keningnya Itu memungkinkan tapi...” tambahnya ragu.

“Iya saya pikir juga demikian, melihat kondisi mayat Rahma menunjukan tanda-tanda terkena radiasi yang sangat kuat, bayangkan, dengan radiasi dari uranium normal, paling tidak beberapa fungsi fisiologisnya akan rusak, cacat, keterbelakangan mental, jika memang apa yang saya curigakan benar, betapa mengerikan alat itu!” jelas Gamma menguraikan apa yang diketahuinya.

“Sudah, saya tidak mau mebicarakan ini lebih jauh!” belum sempat Bu Dewi menyelesaikan kalimatnya, Gamma memotong dengan lanjutan penjelasannya.

 “Hidungnya mengeluarkan darah, berarti seluruh jaringan di kepalanya telah rusak, tapi mengapa kasus ini ditutup begitu saja?” desak Gamma.

“Sudahlah Gam, ada pihak yang telah menangani masalah ini!”

“Tapi, Bu...”

“Gamma kau pintar, tapi kau terlalu banyak bicara,  sudahlah pikirkan saja masalahmu sendiri!”

Gamma merasa ada kalimat yang tidak pada tempatnya yang barusan diucapkan Bu Dewi. Tapi entah apa. Sementara itu komputer menjadi saksi bisu pebicaraan mereka. Hening sesaat.

Gamma terlihat pasrah, dia berpikir mungkin diskusi ini tidak akan berujung pada apa yang dia inginkan dan mungkin juga dia ada pada pihak yang kalah.

“Baiklah Bu, kalu begitu saya pamit dulu, terima kasih atas penjelasan Ibu”.

“Iya sama- sama Gam . . .” jawab Bu Dewi datar.

Gamma melangkah keluar dari ruangan itu. Pelan dia meraih ponsel pada saku depan ransel hitamnya, segera ia mengetik pesan singkat dan mengirimkannya pada Maya.

           

            #May , Q tunggu kau dan Satya d’ tempat biasa, da hal yang ngin ku sampaikan pda kalian, penting! (9-11-2012)#

 

Sejurus kemudian, mereka berkumpul di taman sekolah yang telah sepi.

“Hah, pembunuhan?” sahut Maya terkejut.

“Ssstt.. jangan keras-keras pelankan suaramu” cegah Gamma sambil meletakkan telunjuknya di bibir sebagai isyarat.

Tidak, ini kutukan, kita seharusnya mendengarkan peringatan mereka agar tidak bermain-main di gudang itu!” tukas Satya cepat.

“Kutukan?  pemikiranmu terlalu dangkal, lihat kondisi Rahma saat meninggal, ia mengeluarkan darah dari hidungnya, tapi tak sedikit luka di tubuhnya, bahkan kurasa polisi tak mampu menyelesaiakan masalah ini dan ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada kalian!”

Apa tentang khayalan gilamu itu lagi? tukas Satya.

Tidak, ini benar-benar terjadi, bahkan ini lebih mengerikan dari kutukan yang kau ceritakan itu.

Kemudian Gamma mengatakan semua kecurigaannya. Termasuk cerita Rahma tempo hari. Rahma adalah saksi dari itu semua, hingga ia harus menebus dengan nyawanya.

“Apa?!?” Maya dan Satya terbelalak.

Kemudian Gamma berkata pelan.

“Kita harus mengungkap semua ini , aku akan mengumpulkan bukti-bukti terkait.” Kemudian dia bergegas ke suatu tempat ,sebelum itu ia berkata, pandangannya sesaat kosong.

“Teman, jaga diri kalian baik-baik. Aku khawatir aku pun tak mampu menjaga diriku sendiri.

Angin berhembus pelan, dedaunan berderai, mengiringi perkataan Gamma yang seolah menjadi kata perpisahan. Tanpa mereka sadari dari kejauhan sepasang telinga mendengar semua percakapan mereka.

***

# Harian Mentari, Sabtu 10 November 2011

KotaPraja. Telah ditemukan sesosok mayat di gudang SMA Erlangga. Sabtu sore saat pegawai kebersihan sekolah itu mengambil sapu. Diketahui mayat yang bernama Gamma Cahya Mahardika itu tepat terduduk di depan laptopnya. Karena tidak dijumpai seberkas luka sedikitpun, dugaan kuat mengarah pada kasus bunuh diri......#

Setelah berita itu tersebar, suasana SMA Erlangga mencekam. Hingga dewan guru memutuskan untuk memulangkan para murid lebih awal yang diharapkan mampu meredam suasana yang tidak kondusif ini.

Gerimis mengundang hujan yang semakin deras. Jelaga hitam awan membawa petir dengan gemuruh yang memekakkan telinga. Tetes hujan yang deras mencabik-cabik dedaunan. Terlihat kaki langit semakin marah di atas SMA Erlangga yang telah ditinggalkan penghuninya 2 jam yang lalu. Namun tidak semua siswa meninggalkan sekolah itu, terlihat Maya dan Satya berlari menuju gudang sekolah tempat mereka berkumpul. Mereka duduk di atas bangku kecil yang diambilnya dari tumpukan di sampingnya. Satya memulai pembicaraan setelah menarik napas panjang.

May, sebaiknya hal ini segera kita laporkan pada pihak berwenang”

“Tapi, kita tak punya bukti apapun, Sat!” Maya mencoba meyakinkan Satya.

Satya terdiam sesaat.

“Tapi May, kalau kita tidak segera melakukan tindakan bukan tidak mungkin kita juga dibunuh”

“Kita tidak boleh boleh gegabah,Sat!”

BRAKKKKKKK!!

Pintu di samping mereka terbuka secara paksa, terlihat sosok memakai topeng, tidak begitu jelas siapa dia hanya siulet sesaat yang tebentuk dari kilatan cahaya petir menambah  seram sosok itu.

“Kalian sudah terlalu banyak ikut campur dalam urusan ini” gertak orang itu dengan nada tinggi. Mereka merasa suara itu sudah tak asing lagi. Itu adalah suara wanita, ya! Terdengar jelas sekali itu suara sopran. Tapi siapa dia?

“Siapa kamu? ” teriak Maya.

“Bagus,bagus “ sambil bertepuk tangan. ”Kau berani padaku, ha!”

“Siapa kamu?” Satya bersiap - siap dengan tongkat dibalik punggungnya.

“Aku, aku….hahahahahaha” kau ingin tahu siapa aku, dengarkan baik-baik anak manis, jika kalian tidak ingin bernasib sama seperti kedua teman kalian, jangan pernah ikut campur dengan masalah ini!” memandang sinis.

“Jadi, kau yang membunuh Rahma dan Gamma?”

Bravo! Benar sekali, jika kalian tak ingin bernasib sama seperti mereka, lebih baik kalian bungkam!” ancam sosok wanita itu.

“Kalau kami tidak mau, apa kau akan membunuh kami?”

“Hahaha, kalian mau menantangku!” wanita itu mengeluarkan laser kecil dengan ornamen tanda yang selama ini menjadi misteri itu, titik koma.

“Kamu mau membunuh kami dengan mainan itu?” sambil memicingkan mata.

“Mainan katamu, lihat ini baik-baik!”  sosok wanita itu dengan langkah sombong mengarahkan laser kuning itu pada kaki kursi yang ditumpuk terbalik di sampingnya. Sesaat kemudian seolah tidak terjadi apa-apa. Mau apa dia, tanya Satya dalam hati.

“Kau gila ya? kalau mainan seperti itu adikku juga punya di rumah, dasar bodoh!” belum selesai bicara wanita itu menjentikkan  jarinya ke kaki meja itu, sesaat kaki meja itu patah, terjatuh kelantai dan lenyap menjadi debu.

“Asal kalian tahu, aku sudah berpuluh tahun melakukan penelitian ini! dan inilah mahakaryaku, RSP, uranium terkompresi 1000 kali, dengan  sedetik saja cahaya kecil ini menyentuh kalian, maka sel kalian akan rusak, namun seolah tidak terjadi apa-apa karena jasad kalian utuh seperti kedua teman kalian!”.

Sambil duduk di atas bangku dengan angkuhnya.

“Tapi, apa kesalahan kami?”

“Aku sudah memperingatkan kalian berkali-kali, tapi kalian tidak menyadari itu”

“Maksudmu?” selidik Maya.

“Titik koma, ya titik koma, itu adalah pesan dariku sekaligus simbol kebesaran penemuanku ini!”

Satya merasa geram dengan wanita di hadapannya, dan menyambar tongkat di depannya dan berusaha memukulkannya pada orang itu. Namun sebelum orang itu dipukul oleh Satya, terlebih dahulu dia jatuh tersungkur dengan darah keluar dari hidungnya. Satya bahkan belum sempat menghirup napas terakhirnya.

Maya berteriak.

“Aaaaagh . . . . .” jerit itu tak tertahan.

Dengan langkah seribu Maya menerjang wanita itu, menampik laser itu, laser itu terjatuh, kemudian Maya menginjaknya hingga hancur berkeping-keping.

“Aaaaah, brengsek kau bocah ingusan! kau hancurkan karyaku dengan semaumu”Teriak orang itu.

Lalu Maya berlari sekuat tenaga menerjang hujan yang masih deras menghujam.

“Tunggu kau!”

Dengan tergopoh wanita itu mengejar Maya melintasi koridor kelas, lantai menjadi licin akibat hujan, jatuh bangun Maya berusaha untuk lari namun sial, di ujung koridor Maya terpeleset, tubuhnya terejerembab, keningnya terantuk pot bunga yang terbuat dari batu, kenignya berdarah, Maya terdiam tak mampu lagi bergerak. Apakah ini saat terakhir hidupnya? Kata Maya dalam hati.

“Sial!!!” sesal Maya.

“Brengsek, pergi kau!” lantang Maya.

“Heh, apa kau bilang, brengsek? hahahahahaha……” jawab wanita itu.

“Kenapa kau begitu kejam pada kami ?”

“Kau benar, kenapa aku harus begitu kejam pada kalian? hahaha”.

“Apa sebenarnya salah kami ?”

“Tak ada, tapi kalian sendirilah yang membuat pilihan untuk aku berbuat kejam”

“Apa maksudmu ?”

“Sudah cukup bocah!” lanjut wanita itu dengan jelasnya.

“Aaaaaaaaaa…………………….”

Suara muncul memecah suasana mencekam sore itu, pekik dan nyaring. Suara Maya hilang, kemudian. Hening. Hanya gemersik hujan  menyanyikan melodi yang mencekam.

***

Di sebuah ruang gelap dengan satu lampu temaram yang menyorot membentuk sebuah lingkaran, terlihat suram dan sepi. Seorang pria memakai kemeja coklat, namun wajahnya tak begitu terlihat. Sedang di depannya seorang wanita berambut cepak tertunduk lesu.

“Bagaimana sudah kau selesaikan?”

“Sss…..ss…sudah”

“Sepertinya kau tampak ragu?” Nada itu meninggi.

“Aku pikir ada yang ingin kau katakan, katakanlah!”

“Kukira ini semua sudah cukup, Tuan! ini sudah terlalu jauh!”

“Aku seperti tak mengenal dirimu, coba jelaskan lagi padaku!”

“Tuan, siapa yang akan menaggung dosaku ini, aku merasa ini terlalu berat!”

“Hahahahaha!” tawa orang yang dipanggil tuan itu meledak.”Apa katamu! Dosa? Munafik!”

“Bukan seperti itu maksudku Tuan!” iba wanita itu.

“Apa gunanya kau kusekolahkan sampai ke Universitas Oxford dan ku angkat kau menjadi guru di sekolah ini jika kau tak pernah tahu balas budi!”

“Aku baru mengenal dirimu sekarang, ternyata mentalmu, mental kacangan, jika aku tahu dari awal takkan kau kuperlakukan seperti ini!” lanjut lelaki yang dipanggil tuan itu.

“Tentu tidak, tuan Dewan Keuangan aku, Dewi, tak pernah lupa akan hal itu, tapi yang kufikirkan kenapa harus mereka yang kau bunuh!” Nada bicara perempuan itu meninggi.

“Aku rasa kau juga tahu jawabannya, mereka sudah tahu terlalu banyak tahu dan ikut campur!”

“Mungkin ini karma Tuan, kejahatanmu, korupsi 2 milyar itu………..”

“Korupsi katamu? kau fikir semua yang kau peroleh dari mana heh?”

“Tuan, aku fikir aku ingin berhenti sampai disini, aku ingin mengakui semua dosaku, semua termasuk rekening itu, bukti pembayaran itu, akan segera kuserahkan pada pihak berwajib, aku sudah tidak kuat tuan, aku sudd..…” Kalimat itu terhenti seketika. Wanita itu terjatuh di depan pria yang dipanggilnya Dewan Keuangan itu.

Suasana hening sejenak.

Tak terdengar lagi hembusan nafas dari wanita yang bernama Dewi itu, sekarang apa yang terjadi pada Rahma dan kedua temannya terjadi padanya, tubuhnya membeku, dengan berlutut tepat di kaki tuannya, sekali lagi tuan Dewan Keuangan SMA Erlangga.

Dari balik jendela berdebu dekat ruangan itu, sepasang mata melihat semua adegan mengerikan yang telah terjadi, sayup sayup hujan seakan menghentikan suara yang terucap dari mulutnya, dia hanya berbisik pelan….

“Terima kasih, Bu Dewi, kau memberiku kesempatan untuk hidup dan mengetahui semua ini, dan yang kukenang adalah apa yang telah kau tanamkan”

“Selamat jalan, Bu Dewi”

Seulas senyum simpul pahit tersungging di bibir manisnya. Sementara hujan masih menjadi saksi bisu semua kejadian ini.

***

 

Post a Comment