![]() |
Lukisan "Starry Night" Karya Vincent Van Gogh |
Ini adalah cerita pendek yang kami buat saat berada di kelas XI Madrasah Aliyah. Bersama dengan teman sekelompok untuk memenuhi tugas pelajaran Bahasa Indonesia.
“Aaaaaaaa……..!”
Terdengar
suara jeritan parau memecah keheningan sudut sekolah sore itu. Awan hitam sisa
hujan masih mengambang di kaki langit, air masih membasahi dedaunan yang pucat.
Sesekali kilat masih menyambar. Jam pelajaran telah usai 3 jam yang lalu. Sunyi
. Sepi. Hanya teriakan parau itu, terdengar dari gudang belakang di dekat
lapangan basket yang menambah cekam suasana.
“Ra….. kenapa begini…”
Gadis bernama Maya itu duduk di depan
temannya yang sudah menjadi mayat itu. Bulir bening mengalir dari sudut mata
gadis tomboi itu, memandangi Rahma --teman dekatnya-- yang telah terduduk kaku
di depan laptop yang masih menyala berkedip, darah segar mengalir dari hidung
yang telah tak bernafas entah beberapa waktu yang lalu sebelum ia tinggalkan,
Maya ke kamar mandi, sedangkan kedua temannnya yang lain, Gamma dan Satya
membeli makanan di dekat gerbang sekolah.
Dari
arah pintu itu, terdengar suara bariton yang tak asing lagi,
“May, ini pesananmu!”
Gamma
menyodorkan sekantung penuh makanan. Ekspresinya seketika berubah pasi melihat
Maya tertunduk, terisak. Maya mendongakkan kepalanya pelan.
“Ra…Ra…Rahma….”
Belum
sempat menjelaskan tentang kematian sahabatnya itu, Maya telah terisak,
wajahnya kembali tertunduk.
“Kenapa, May? Kamu sakit?”
Gamma
perlahan mendekat, namun Maya terisak semakin dalam, air matanya semakin deras
mengalir. Kemudian Gamma mendekati tubuh Rahma yang tak lagi bergerak.
Mencoba membangunkan Rahma yang ia kira tertidur pulas. Sesaat kemudian ia
tersentak, Gamma merasa tak percaya dengan apa yang terjadi. Pandangannya seketika
kosong.
“Ini tidak benar kan,
May?”
Namun
Maya tetap dalam isaknya yang dalam. Sambil memeluk Rahma, tak sepatah kata pun
keluar dari mulutnya.
“May, jawab, May, ini
semua……”
Gamma
menjatuhkan bungkusan plastik berisi makanan, air matanya pun tumpah, ia memukul-mukul
tembok sambil menyalahkan dirinya sendiri.
Tanpa
mereka ketahui, Satya telah berdiri di samping pintu yang bertuliskan gudang
sekolah itu, dan mendengar semuanya, ia hanya menatap kosong, mulutnya terdiam,
di balik kaca matanya yang berkabut karena dingin, bulir bening itu menetes, ia
menangis lirih dalam hati. Suasana hening, sehening-heningnya. Angin berhembus
dingin melalui jendela kecil di balik tumpukan kursi dan meja itu.
Gamma
berbalik, dan mencoba membaringkan tubuh Rahma, sementara Satya mencoba
menelpon polisi. Gamma terkesiap melihat layar laptop Rahma.
“Apakah ini penyebabnya?”
gumamnya lirih.
“Maksudmu apa, Gam?”
“Ya aku yakin, ini pasti karena ini!”
***
Lampu
taman menyala temaram di sudut kolam , membias titik- titik
air langit yang mulai turun, gerimis itu mulai membasahi rerumputan yang hijau,
menyanyikan lagu Tik Tik Bunyi Hujan di malam yang sepi. Malam itu hanya mereka
bertiga duduk pada dua bangku kayu panjang yang berhadapan, di
atasnya dipasang atap dari kayu yang lebih tipis. Letaknya yang di halaman
depan rumah Rahma, membuat mereka leluasa melihat lalu lalang kendaraan di
jalan raya yang lengang, pagar besi rendah menyekat taman itu dengan jalan di
depannya. Di sinilah tempat mereka menghabiskan waktu luang, membagi suka dan
duka, silam sebelum Rahma pergi jauh, jauh sekali.
Sementara
di dalam rumah yang mewah itu, duka yang lebih mendalam dirasakan kedua orang
tua Rahma, terutama Ibunya, tak berhenti menangis sejak Rahma dikuburkan sore
itu. Ia tak kuasa melihat anak semata wayangnya pergi dalam usia yang masih
begitu muda.
Gamma
duduk di samping Satya, sedangkan Maya duduk di depan mereka, sebelum Rahma
tiada, ia duduk di samping Maya.
Udara
dingin malam bersiut membawa aroma duka kehilangan, ketakutan, dan penasaran tentang
apa yang telah terjadi.
Bayangan masa lalu sejenak mengisi ruang hati
mereka........
“Ra, yang ini gimana caranya?” tanya Maya sambil
menyodorkan buku bertuliskan matematika pada sampul luarnya.
“Udah, gak usah
diajarin,Ra! Paling juga nggak bisa!” celetuk Satya cuek.
“Eh, yang penting ada
niat, Sat!” bela Maya.
“Niat? Kayak kamu punya
niat aja!” Satya tak mau kalah.
“Sudah, dari pada
berantem, mending makan bakso, kalian mau kupesankan, aku deh yang traktir!”
sela Gamma sambil membawa semangkuk penuh bakso. Mereka biasa memesan bakso
gerobak dari dalam taman rumah Rahma, melalui pagar besi yang setinggi dada
itu, mereka memesan bakso yang biasa lewat depan rumah Rahma.
“Wah, ide bagus tuh!” kata
Rahma sambil menunjuk Gamma.
“Ya udah deh, ditraktir kan?”
Maya bangkit mendekati Gamma.
“Niat belajar apaan?
Dibujuk pakek bakso aja udah luluh” ejek Satya.
“Biarin, sebelum otak
diisi, perut gak boleh kosong, dong!” tangan kiri Maya memegang dahi, dan
tangan kanannya memegang perut.
“Udah, udah, pada gak mau
bakso, kuhabiskan semua, ya!” tangan Gamma masing masing membawa mangkuk pakso,
sedang Rahma menyusul di belakangnya.
“Eh, jangan, perutku udah
keroncongan nih!” Maya menyambar bakso di tangan kanan Gamma, kemudian duduk di
bangku, kemudian Gamma menyodorkan mangkuk lain pada Satya dan ia pun duduk di
samping Maya.
“Keroncongan?
Jangan-jangan sebentar lagi dangdutan!” Celetuk Rahma. Tawa pun meledak
di antara mereka, suasana begitu hangat, meski langit terlihat mendung.
Semua kenangan itu begitu terasa manis, namun tiba-tiba
siluet itu hilang. Kembali
suasana cekam merayapi pertemuan mereka.
“Kita
semua merindukannya..” gumam Maya lirih dengan mata menerawang.
“Aku
yakin, ini semua pasti karena itu!”
“Sudahlah Gam,
jangan membuat masalah lebih rumit lagi!” bentak Satya.
“Ini
pasti kutukan!” potong Maya
“Ya
kita tidak pernah menghiraukan
perkataan mereka, kita telah mengusik mereka” tegas Satya.
“Ini
tidak akan terjadi jika sejak awal kita tidak menggunakan ruang gudang itu
sebagai markas rahasia kita, ini semua kutukan....kutukan!” jelas Satya.
BRAKKKK!!
Tangan Gamma memukul
meja
“Non
sense, loe semua gak bisa
berpikir logis? Gua
juga gak terima ini semua, tapi…” sambil menunjuk keningnya, Gamma loe-guenya kumat
tanda dia benar-benar kesal.
“Tapi,
kita lihat sendiri kan, Rahma yang menjadi korbannya!” Tampik Maya.
“Ya,
ini kutukan, apa lagi kalau bukan itu?” bela Satya
“Titik
Koma” lirih Gamma.
“Apa maksudmu?”
“Iya,
itu adalah pesan kematian, dan gue rasa gue tahu
apa penyebabnya”
“Sudahlah
jangan berkhayal, Gam!”
“Tapi
semua kesimpulan mengarah ke hal ini, dan dan...”
“Dan
apa?”
“Dan
mungkin, selanjutnya adalah giliran gue!”
lirih Gamma.
Hujan bertambah deras, petir semakin keras menyambar, menambah temaram lampu yang telah redup.
***
Bel pulang berbunyi, suara riuh memenuhi seluruh sisi SMA
Erlangga. Ada yang langsung ke luar untuk bergegas pulang, ada yang masih
mengobrol dengan temannya, ada yang ke kantin. Namun tidak
seperti biasanya Gamma tergesa
keluar kelas untuk menuju Laboratorium Komputer.
Sementara Satya dan Maya masih sibuk dengan pekerjaan mereka di kelas.
“Permisi ,Bu!” Satya memasuki ruangan sambil membuka pintu. Wanita paruh baya yang duduk di depan komputer itu mendongak pelan, dengan intonasi datar mempersilakan Gamma masuk.
“Silakan
masuk, ada keperluan apa?”
Gamma
mendekat pada wanita yang
dipanggilnya Bu Dewi itu.
“Saya
ingin bertanya sesuatu, Bu”
cetus Gamma memulai pembicaraan.
“Iya
silakan...”
“Bu, apa
mungkin teknologi RSP (Radiation Short Pincblende) sudah
dipakai di negara kita?”
“Maksudmu? Ibu tidak
mengerti?” sambil menata beberapa berkas di mejanya.
“Ibu yakin, Ibu tidak
mengerti?”. Tanya Gamma meyakinkan.
Lamunan panjang menyelubungi pikirannya.
Gamma bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mungkinkah Bu
Dewi tidak mengetahui tentang semua ini, mungkinkah dirinya telah bertanya
kepada orang yang salah, sedangkan awalnya dia yakin Bu Dewi adalah
orang yang tepat, beliau sangat terkenal di sekolah bahkan di seluruh kota ini,
beliau adalah satu-satunya lulusan Oxford University yang
meraih gelah doktor di bidang teknologi, pasti beliau paham betul tentang
pertanyaan yang dilontarkannya. Kemudian pertanyaan lebih jauh berkecamuk di
pikirannya, kenapa orang seperti Bu Dewi hanya
mau mengajar sebagai
guru SMA. Entahlah pikirnya, itu
bukan masalahnya. Kemudian pertanyaan Bu Dewi memecah lamunannya.
“Gam, apa ada sesuatu yang
mendorongmu untuk menanyakan hal ini?”
“Iya Bu, sesuatu yang
membuat saya terlalu rumit untuk memikirkannya sendiri”
“Kalau begitu kenapa kau
begitu yakin aku adalah orang yang tepat untuk kau tanyai hal ini?”
“Em . . .” jawab Gamma
ragu.
“Bukankan Ibu pernah
menyinggung tentang hal ini pada pelajaran kemarin, selain itu bukankah studi
terakhir Ibu tentang hal itu Bu!” lanjut Gamma.
“Baiklah,
jika saya mengerti, apa yang kau inginkan?” sahut Bu Dewi cepat.
“Titik
koma”
“Apa?” ada
sedikit ekspresi terkejut pada wajah Bu Dewi.
“Titik
koma adalah simbol untuk uranium (Pincblende) yang telah
dikompresi hingga 1000 kali, yang biasa digunakan dalam pembangkit listrik tenaga
nuklir dan sisanya digunakan dalam penyembuhan kanker. Saya melihat tanda ini
saat kematian
Rahma, lebih tepatnya pada
laptop Rahma.”
“Maksudmu? Aku
semakin tidak mengerti, jika memang ada yang membunuh
Rahma, mengapa ia terlalu bodoh dengan meninggalkan tanda” tegasnya.
“Membunuh?
Kenapa Ibu berkesimpulan
demikian?”
“Bukan seperti itu maksudku, begini....” perkataan Bu Dewi terpotong.
“Begini Bu,
maksud saya pernahkah Ibu mengetahui
fungsi lain dari RSP?”
“Fungsi
lain?” sambil mengernyitkan dahinya.
“Seperti
senjata atau alat lainnya”
“Senjata,,,,”
sambil memijat keningnya ”Itu
memungkinkan tapi...” tambahnya ragu.
“Iya
saya pikir juga demikian, melihat kondisi mayat Rahma menunjukan tanda-tanda
terkena radiasi yang sangat kuat, bayangkan, dengan radiasi dari uranium
normal, paling tidak beberapa fungsi fisiologisnya akan rusak, cacat,
keterbelakangan mental, jika memang apa yang saya curigakan benar, betapa
mengerikan alat itu!” jelas Gamma menguraikan apa yang diketahuinya.
“Sudah, saya tidak mau mebicarakan
ini lebih jauh!” belum sempat Bu Dewi menyelesaikan kalimatnya, Gamma memotong
dengan lanjutan penjelasannya.
“Hidungnya
mengeluarkan darah, berarti seluruh jaringan di kepalanya telah rusak, tapi
mengapa kasus ini ditutup begitu saja?” desak Gamma.
“Sudahlah Gam, ada
pihak yang telah menangani masalah ini!”
“Tapi, Bu...”
“Gamma
kau pintar, tapi kau terlalu banyak bicara, sudahlah pikirkan saja masalahmu
sendiri!”
Gamma merasa ada kalimat yang tidak pada tempatnya yang barusan
diucapkan Bu
Dewi. Tapi
entah apa. Sementara
itu komputer menjadi saksi bisu pebicaraan mereka. Hening sesaat.
Gamma
terlihat pasrah, dia berpikir mungkin diskusi ini tidak akan berujung pada apa
yang dia inginkan dan mungkin juga dia ada pada pihak yang kalah.
“Baiklah Bu, kalu begitu
saya pamit dulu, terima kasih atas penjelasan Ibu”.
“Iya sama- sama Gam . . .”
jawab Bu Dewi datar.
Gamma
melangkah keluar dari ruangan itu. Pelan dia meraih ponsel pada saku depan
ransel hitamnya, segera ia mengetik pesan singkat dan mengirimkannya pada Maya.
#May
, Q tunggu kau dan Satya d’ tempat biasa, da hal yang ngin ku sampaikan pda
kalian, penting! (9-11-2012)#
Sejurus kemudian, mereka
berkumpul di taman sekolah yang telah sepi.
“Hah, pembunuhan?” sahut
Maya terkejut.
“Ssstt.. jangan
keras-keras pelankan suaramu” cegah Gamma sambil meletakkan
telunjuknya di bibir sebagai isyarat.
“Tidak,
ini kutukan, kita seharusnya mendengarkan peringatan mereka agar tidak
bermain-main di gudang itu!” tukas Satya cepat.
“Kutukan?
pemikiranmu terlalu dangkal, lihat kondisi Rahma saat meninggal, ia
mengeluarkan darah dari hidungnya, tapi tak sedikit luka di tubuhnya, bahkan
kurasa polisi tak mampu menyelesaiakan masalah ini dan ada sesuatu yang ingin
kusampaikan pada kalian!”
“Apa
tentang khayalan gilamu itu lagi?” tukas Satya.
“Tidak, ini
benar-benar terjadi, bahkan ini lebih mengerikan dari kutukan yang kau
ceritakan itu.”
Kemudian Gamma mengatakan semua kecurigaannya. Termasuk
cerita Rahma tempo hari. Rahma adalah saksi dari itu semua, hingga ia harus
menebus dengan nyawanya.
“Apa?!?”
Maya dan Satya terbelalak.
Kemudian
Gamma berkata pelan.
“Kita
harus mengungkap semua ini , aku akan mengumpulkan bukti-bukti terkait.”
Kemudian dia bergegas ke suatu tempat ,sebelum itu ia berkata,
pandangannya sesaat kosong.
“Teman,
jaga diri kalian baik-baik. Aku khawatir aku pun tak mampu menjaga diriku
sendiri.”
Angin berhembus pelan, dedaunan berderai, mengiringi perkataan Gamma yang seolah menjadi kata perpisahan. Tanpa mereka sadari dari kejauhan sepasang telinga mendengar semua percakapan mereka.
***
#
Harian Mentari, Sabtu 10 November 2011
KotaPraja. Telah ditemukan sesosok mayat di gudang SMA Erlangga. Sabtu sore saat pegawai kebersihan sekolah itu mengambil sapu. Diketahui mayat yang bernama Gamma Cahya Mahardika itu tepat terduduk di depan laptopnya. Karena tidak dijumpai seberkas luka sedikitpun, dugaan kuat mengarah pada kasus bunuh diri......#
Setelah berita itu tersebar, suasana SMA Erlangga
mencekam. Hingga dewan guru memutuskan untuk memulangkan
para murid lebih awal yang diharapkan mampu meredam suasana yang tidak kondusif
ini.
Gerimis mengundang hujan yang semakin deras. Jelaga hitam
awan membawa petir dengan gemuruh yang memekakkan telinga. Tetes hujan yang
deras mencabik-cabik dedaunan. Terlihat kaki langit semakin marah di atas SMA
Erlangga yang telah ditinggalkan penghuninya 2 jam yang lalu. Namun tidak semua
siswa meninggalkan sekolah itu, terlihat Maya dan Satya berlari menuju gudang
sekolah tempat mereka berkumpul. Mereka duduk di atas bangku kecil yang
diambilnya dari tumpukan di sampingnya. Satya memulai pembicaraan setelah
menarik napas panjang.
“May, sebaiknya hal ini
segera kita laporkan pada pihak berwenang”
“Tapi, kita tak punya
bukti apapun, Sat!” Maya mencoba meyakinkan Satya.
Satya terdiam sesaat.
“Tapi May, kalau kita
tidak segera melakukan tindakan bukan tidak mungkin kita juga dibunuh”
“Kita tidak boleh boleh
gegabah,Sat!”
BRAKKKKKKK!!
Pintu
di samping mereka terbuka secara paksa, terlihat sosok memakai topeng, tidak
begitu jelas siapa dia hanya siulet sesaat yang tebentuk dari kilatan cahaya
petir menambah seram sosok itu.
“Kalian sudah terlalu
banyak ikut campur dalam urusan ini” gertak orang itu dengan nada tinggi.
Mereka merasa suara itu sudah tak asing lagi. Itu adalah suara wanita, ya!
Terdengar jelas sekali itu suara sopran. Tapi siapa dia?
“Siapa kamu? ” teriak
Maya.
“Bagus,bagus “ sambil
bertepuk tangan. ”Kau berani padaku, ha!”
“Siapa kamu?” Satya
bersiap - siap dengan tongkat dibalik punggungnya.
“Aku, aku….hahahahahaha”
kau ingin tahu siapa aku, dengarkan baik-baik anak manis, jika kalian tidak
ingin bernasib sama seperti kedua teman kalian, jangan pernah ikut campur
dengan masalah ini!” memandang sinis.
“Jadi, kau yang membunuh
Rahma dan Gamma?”
“Bravo! Benar
sekali, jika kalian tak ingin bernasib sama seperti mereka, lebih baik kalian
bungkam!” ancam sosok wanita itu.
“Kalau kami tidak mau, apa
kau akan membunuh kami?”
“Hahaha, kalian mau
menantangku!” wanita itu mengeluarkan laser kecil dengan ornamen tanda yang
selama ini menjadi misteri itu, titik koma.
“Kamu mau membunuh kami
dengan mainan itu?” sambil memicingkan mata.
“Mainan katamu, lihat ini
baik-baik!” sosok wanita itu dengan langkah sombong mengarahkan laser
kuning itu pada kaki kursi yang ditumpuk terbalik di sampingnya. Sesaat
kemudian seolah tidak terjadi apa-apa. Mau apa dia, tanya Satya dalam hati.
“Kau gila ya? kalau mainan
seperti itu adikku juga punya di rumah, dasar bodoh!” belum selesai bicara
wanita itu menjentikkan jarinya ke kaki meja itu, sesaat kaki meja itu
patah, terjatuh kelantai dan lenyap menjadi debu.
“Asal kalian tahu, aku
sudah berpuluh tahun melakukan penelitian ini! dan inilah mahakaryaku, RSP,
uranium terkompresi 1000 kali, dengan sedetik saja cahaya kecil ini
menyentuh kalian, maka sel kalian akan rusak, namun seolah tidak terjadi
apa-apa karena jasad kalian utuh seperti kedua teman kalian!”.
Sambil duduk di atas
bangku dengan angkuhnya.
“Tapi, apa kesalahan
kami?”
“Aku sudah memperingatkan
kalian berkali-kali, tapi kalian tidak menyadari itu”
“Maksudmu?” selidik Maya.
“Titik koma, ya titik
koma, itu adalah pesan dariku sekaligus simbol kebesaran penemuanku ini!”
Satya
merasa geram dengan wanita di hadapannya, dan menyambar tongkat di depannya dan
berusaha memukulkannya pada orang itu. Namun sebelum orang itu dipukul oleh
Satya, terlebih dahulu dia jatuh tersungkur dengan darah keluar dari hidungnya.
Satya bahkan belum sempat menghirup napas terakhirnya.
Maya berteriak.
“Aaaaagh . . . . .” jerit
itu tak tertahan.
Dengan
langkah seribu Maya menerjang wanita itu, menampik laser itu, laser itu
terjatuh, kemudian Maya menginjaknya hingga hancur berkeping-keping.
“Aaaaah, brengsek kau
bocah ingusan! kau hancurkan karyaku dengan semaumu”Teriak orang itu.
Lalu Maya berlari sekuat
tenaga menerjang hujan yang masih deras menghujam.
“Tunggu kau!”
Dengan
tergopoh wanita itu mengejar Maya melintasi koridor kelas, lantai menjadi licin
akibat hujan, jatuh bangun Maya berusaha untuk lari namun sial, di ujung
koridor Maya terpeleset, tubuhnya terejerembab, keningnya terantuk pot bunga
yang terbuat dari batu, kenignya berdarah, Maya terdiam tak mampu lagi
bergerak. Apakah ini saat terakhir hidupnya? Kata Maya dalam hati.
“Sial!!!” sesal Maya.
“Brengsek, pergi kau!”
lantang Maya.
“Heh, apa kau bilang,
brengsek? hahahahahaha……” jawab wanita itu.
“Kenapa kau begitu kejam
pada kami ?”
“Kau benar, kenapa aku
harus begitu kejam pada kalian? hahaha”.
“Apa sebenarnya salah kami
?”
“Tak ada, tapi kalian
sendirilah yang membuat pilihan untuk aku berbuat kejam”
“Apa maksudmu ?”
“Sudah cukup bocah!”
lanjut wanita itu dengan jelasnya.
“Aaaaaaaaaa…………………….”
Suara muncul memecah suasana mencekam sore itu, pekik dan nyaring. Suara Maya hilang, kemudian. Hening. Hanya gemersik hujan menyanyikan melodi yang mencekam.
***
Di
sebuah ruang gelap dengan satu lampu temaram yang menyorot membentuk sebuah
lingkaran, terlihat suram dan sepi. Seorang pria memakai kemeja coklat, namun
wajahnya tak begitu terlihat. Sedang di depannya seorang wanita berambut cepak
tertunduk lesu.
“Bagaimana sudah kau
selesaikan?”
“Sss…..ss…sudah”
“Sepertinya kau tampak
ragu?” Nada itu meninggi.
“Aku pikir ada yang ingin
kau katakan, katakanlah!”
“Kukira ini semua sudah
cukup, Tuan! ini sudah terlalu jauh!”
“Aku seperti tak mengenal
dirimu, coba jelaskan lagi padaku!”
“Tuan, siapa yang akan
menaggung dosaku ini, aku merasa ini terlalu berat!”
“Hahahahaha!” tawa orang
yang dipanggil tuan itu meledak.”Apa katamu! Dosa? Munafik!”
“Bukan seperti itu
maksudku Tuan!” iba wanita itu.
“Apa gunanya kau
kusekolahkan sampai ke Universitas Oxford dan ku
angkat kau menjadi guru di sekolah ini jika kau tak pernah tahu balas budi!”
“Aku baru mengenal dirimu
sekarang, ternyata mentalmu, mental kacangan, jika aku tahu dari awal takkan
kau kuperlakukan seperti ini!” lanjut lelaki yang dipanggil tuan itu.
“Tentu tidak, tuan Dewan
Keuangan aku, Dewi, tak pernah lupa akan hal itu, tapi yang kufikirkan
kenapa harus mereka yang kau bunuh!” Nada bicara perempuan itu meninggi.
“Aku rasa kau juga tahu jawabannya,
mereka sudah tahu terlalu banyak tahu dan ikut campur!”
“Mungkin ini karma Tuan,
kejahatanmu, korupsi 2 milyar itu………..”
“Korupsi katamu? kau fikir
semua yang kau peroleh dari mana heh?”
“Tuan, aku fikir aku ingin
berhenti sampai disini, aku ingin mengakui semua dosaku, semua termasuk
rekening itu, bukti pembayaran itu, akan segera kuserahkan pada pihak berwajib,
aku sudah tidak kuat tuan, aku sudd..…” Kalimat itu terhenti seketika. Wanita
itu terjatuh di depan pria yang dipanggilnya Dewan Keuangan itu.
Suasana hening sejenak.
Tak
terdengar lagi hembusan nafas dari wanita yang bernama Dewi itu, sekarang apa
yang terjadi pada Rahma dan kedua temannya terjadi padanya, tubuhnya membeku,
dengan berlutut tepat di kaki tuannya, sekali lagi tuan Dewan Keuangan SMA
Erlangga.
Dari balik jendela berdebu
dekat ruangan itu, sepasang mata melihat semua adegan mengerikan yang telah
terjadi, sayup sayup hujan seakan menghentikan suara yang terucap dari
mulutnya, dia hanya berbisik pelan….
“Terima kasih, Bu Dewi,
kau memberiku kesempatan untuk hidup dan mengetahui semua ini, dan yang kukenang
adalah apa yang telah kau tanamkan”
“Selamat jalan, Bu Dewi”
Seulas senyum simpul pahit tersungging di bibir manisnya. Sementara hujan masih menjadi saksi bisu semua kejadian ini.
***
Post a Comment